Minggu, 19 Januari 2014

Nostalgia


Kerinduan akan masa lalu membawaku kembali ke tempat ini. Menikmati kenyamanan duduk di bawah pohon mangga yang rindang, menikmati hembusan angin yang menyegarkan, melihat hijaunya hamparan sawah, sesekali melihat sekawanan kupu-kupu yang menari-nari dengan indahnya di antara bunga-bunga yang bermekaran. Cantik sekali.

Inilah salah satu yang membuatku selalu merindukan kenyamanan berada di sini, di taman depan SMP-ku. SMP yang sudah kutinggalkan 2th yang lalu. Namun di samping itu, ada hal lain yang selalu membuatku merindukan tempat ini. Ya, sangat merindukan tempat ini.

Siang ini udara sungguh terasa panas. Wajah-wajah sumringah teman-tamanku, para siswa kelas 8F telah luntur karena kegerahan. Jam pelajaran terakhir tinggal 15 menit. Semua siswa nampaknya tidak sabar ingin segera mengakhiri kegiatan belajar mengajar di hari ini.


Hingga akhirnya, TEEETT. TEETT. TEEEEEETTTTTT. Bel panjang yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah berkemas dan membaca do'a, semua bergegas keluar kelas dan bersiap meninggalkan sekolah. Begitu pula dengan aku. Setelah semua buku dan alat tulis ku masukkan rapi ke dalam tas, segera aku berjalan meninggalkan ruang kelasku.

"Ca, tunggu aku".
Seseorang berambut panjang betlari sambil memanggilku. Ternyata itu suara Elisa.

"Ca tunggu. Kamu pulang bareng aku aja", kata Elisa sambil ngos-ngosan.

"Wah dapat tumpangan gratis nih. Ok deh. Kebetulan kakak ku gak bisa jemput hari ini". 

"Tapi kamu tunggu dulu ya, aku ada remidial Matematika ni".

"Ah kamu Lis. Aku kira langsung pulang. Panas-panas gini bisa mati kekeringan aku nungguin kamu".

"Cuma bentar kok. Biar gak mati kekeringan,  Kamu tunggu di sana aja tuh, di bawah pohon mangga. Siapa tau ada kupu-kupu yang naksir kamu, hahaha". 

Ah Elisa. Ia memang selalu begitu. Senang bergurau.

Akhirnya aku menunggu Elisa di bawah pohon mangga. Ku fikir menunggu Elisa di sini akan terasa sangat membosankan, namun ternyata tidak seburuk yang aku kira. Di bawah pohon ini aku merasa sangat nyaman. Menikmati hembusan angin dan menikmati keindahan bunga-bunga yang bermekaran.

Sembilan ratus detik berlalu. Dan aku masih di sini. Ku ambil handphone dari dalam sakuku. Sekedar memencet-mencet untuk menghilangkan rasa jenuh. Hingga akhirnya aku merasa ada seseorang yang mengawasiku. Ku kira Elisa,  namun ternyata setelah aku tengok sekeliling, anak itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Kulanjutkan lagi memencet-mencet handphoneku. Lagi-lagi aku merasa ada yang mengawasiku.

Kali ini pandanganku langsung tertuju ke sudut kanan halaman sekolahku. Ya, warung Mbok Inah. Di sana ku lihat ada tiga orang cowok yang sedang duduk, berbincang hangat, sambil melihat ke arahku. Sepertinya akulah yang menjadi buah pembicaraan mereka. Siapa mereka? Ah aku tak begitu peduli. Lagi pula aku masing asing dengan wajah mereka, walaupun mereka juga mengenakan seragam yang sama sepertiku. Fikirku.

Seribu lima ratus detik berlalu, Aku masih tetap di sini. Dan aku masih merasa menjadi buah pembicaraan ketiga cowok itu. Hingga akhirnya seorang cowok bangkit dari duduknya, dan mulai berjalan mendekat ke arahku. Berjalan mendekat dan semakin mendekat.

Dari caranya berjalan dan postur tubuhnya, dia tampak cukup gagah. Awalnya aku mengira dia hanya akan lewat di dekatku kemudian masuk ke dalam sekolah. Akan tetapi, kini cowok itu kurang lebih hanya berjarak 10 meter dariku. Dan kini wajahnya tampak begitu jelas. Tiba-tiba jantungku berdetak begitu kencang. Aku berusaha mengalihkan pandangan karena aku tak punya cukup keberanian untuk menatap wajah cowok itu.

Detak jantungku terasa semakin kencang dan kencang. Keringat dingin sedikit demi sedikit mulai keluar dari pori-pori kulitku ketika cowok itu akhirnya duduk di sebelahku. Di sebelah kananku.

Tiba-tiba cowok itu menyapaku ramah. Suaranya terdengar begitu merdu dan membuat jantungku bergetar. Akhirnya ku kumpulkan seluruh keberanianku untuk menoleh ke arahnya dan menjawab sapaannya. Dag dig dug, jantungku berdegup semakin kencang ketika dia menanyakan siapa namaku. Dan rasanya lidahku kelu walau hanya untuk menyebut namaku sendiri.

Hmmmm. Beberapa saat kami berbincang. Akhirnya aku tahu cowok itu bernama Deni, anak kelas 8A. Ternyata dia orang yang mudah bergaul dan sangat ramah. Walaupun baru pertama kali ngobrol bareng, namun rasanya dia nggak kelihatan canggung. Bahkan dia mulai mengajakku bercanda-canda ringan namun bahasanya tetap santun. Sesekali kami tertawa riang bersama. Sesekali pula ia melihat ke arah warung Mbok Inah. Kedua temannya yang masih duduk di sana nampaknya juga terlibat pembicaraan, dan aku yakin mereka sedang membicarakan aku dan Deni, cowok yang sekarang berada di sampingku ini.

Sepuluh menit kami bersama, Deni memanggil kedua temannya dan memperkenalkan kepadaku. Mereka adalah Andi dan Anto, teman sekelas Deni. Akhirnya kami berbincang bersama. Hingga Elisa muncul dengan wajah yang kurang bersemangat.
Sebelum pulang kami berlima sempat ngobrol bersama. Bersenda gurau bersama, karena ternyata Elisa telah mengenal mereka sebelumnya. Jadi suasana terasa sangat hangat.

Sempat aku berfikir, sudah lebih dari satu tahun aku berada di sekolah ini, namun aku baru mengenal ketiga cowok ini. Kemana saja aku selama ini? Hahaha.

Bersama Deni,  jantung ini masih saja berdegup begitu kencangnya, getaran-getaran ini semakin terasa. Sesekali aku mencuri pandangnya, akan tetapi aku masih belum berani menatap matanya. Dan sialnya, Elisa sepertinya menangkap sinyal-sinyalku yang berbeda kepada Deni. 

"Ada yang falling in love nih! Hahah", kata Elisa meledekku.

Betapa malunya aku. Aku berusaha menundukkan wajahku, berusaha menyembunyikan rasa malu. Akan tetapi yang membuatku heran, Deni nampak begitu tenang dan membalas ledekan Elisa dengan gurauan.

Sejak pertemuan pertamaku di bawah pohon mangga beberapa hari yang lalu itu, akhirnya kami semakin sering dipertemukan. Entah sengaja atau Kebetulan, aku semakin sering melihat atau berpapasan dengan Deni dan teman-temannya. Pertemuan dengan Deni adalah sesuatu hal yang sangat menyenangkan bagiku. Terlebih Deni adalah orang yang sangat ramah. Ia tak pernah malu menyapaku di depan teman-temannya. Bahkan ia selalu nenegurku duluan ketika berjumpa.

Suatu hari ketika seharian aku tak melihat Deni di sekolah, hati ini rasanya terus diliputi rasa cemas, gelisah, khawatir dan bertanya-tanya. Kemana ia? Sakit kah? Atau mungkin ada sesuatu yang menimpanya sehingga ia tak dapat masuk sekolah? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus memenuhi otakku sepanjang hari hingga aku tak bisa berkonsentrasi 100% dalam pembelajaran di kelas. Bahkan aku selalu mencari akal dan alasan agar dapat lewat depan kelasnya. Siapa tahu ia mengurung diri di kelas hingga aku tak melihatnya, fikirku.

Suatu malam ketika aku hendak tidur, ada sebuah sms masuk ke handphoneku. Cuma sekedar menyapa dan mengucapkan salam. Tetapi aku tidak menghiraukannya karena aku tidak tahu siapa orang yang mengirimkan sms tersebut. Terlebih aku adalah tipikal orang yang gak mau meladeni kerjaan orang iseng semacam itu. Alhasil sms tersebut hanya ku anggap sebagai angin lalu. Aku pun bergegas tidur.

Beberapa hari berlalu, masih saja ada sms-sms yang masuk ke handphoneku tiap malam. Hingga suatu hari, aku membalasnya dan menanyakan identitas dirinya. Dan sungguh tak kusangka, ternyata seseorang yang aku anggap orang iseng itu adalah Deni. OH MY GOD??? Ternyata selama ini aku udah nyuekin Deni. Seketika perasaanku campur aduk. Aku malu, aku merasa bersalah, akan tetapi aku merasa sangat senang.  Betapa tidak, seseorang yang selama ini aku cintai dalam diam ternyata juga mulai ada sinyal kepadaku. Malam itu, aku merasa melayang tinggi di awan berhias beribu bintang.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa bulan demi bulan telah aku lewati dengan secercah harapan dari seorang cowok. Siapa lagi kalau bukan Deni. Kehadirannya bagai pelangi dalam hidupku. Indah dan penuh warna. Deni membuat hari-hariku terasa bersinar. Kadang ingin aku berteriak sekencang-kencangnya menyebut namanya agar ia tahu perasaanku. Atau kadang ia bisa membuatku jungkir balik di tempat tidur ketika aku tahu ada sms dari dia yang masuk ke handphoneku. Semua terasa begitu indah.

Lama kelamaan aku merasa Deni punya perasaan yang sama kepadaku. Ia memang tak pernah mengungkapkannya kepadaku, akan tetapi dari sikapnya dan perhatiannya kepadaku membuat aku merasa bahwa ia pun merasakan hal yang sama sepertiku. Memang obrolan dan pembahasan kami tidak pernah menyangkut cinta atau mungkin perasaan masing-masing dari kami. Karena aku merasa belum siap menjalin hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan dengan seorang cowok. Sehingga aku selalu mengalihkan pembicaraan ketika ia mulai menyinggung tentang perasaan. 

Aku sendiri bingung dengan perasaan dan keinginanku. Aku menyukai Deni, sangat menyukainya. Akan tetapi aku tak mau seorang pun tahu tentang ini, terlebih Deni. Aku tak ingin Deni tahu perasaanku, namun aku tak ingin ia pergi menjauh dariku. Aku ingin ia tetap bersamaku, dan aku tak ingin dia dekat dengan cewek lain.

Hubunganku dengan Deni terus berlanjut, hingga suatu hari aku melihat ia bersama Elisa, sahabatku. Aku memang tak pernah menceritakan perihal kedelatanku dengan Deni kepada Elisa.  Mungkin ia hanya tahu aku cukup kenal akrab dengan Deni, sekedar tahu bahwa aku mengenalnya.

Sempat muncul rasa cemburu ketika aku melihat mereka. Akan tetapi aku selalu menepis perasaan ini dan selalu berfikiran positif. Bagaimanapun Elisa lebih mengenal Deni lebih dahulu dari pada aku. Jadi aku selalu berusaha berfikiran bahwa mereka hanya berteman, sekedar teman.

Akan tetapi lama kelamaan aku semakin sering melihat mereka bersama, dan Deni pun jadi lebih jarang sms aku dari pada sebelum-sebelumnya. Hal itu membuatku merasa sangat sedih. Aku merasa sakit. Ingin sekali aku menangis selepas-lepasnya. Terkadang aku ingin menanyakan kepada Elisa perihal kedekatannya dengan Deni. Akan tetapi aku mengurungkan niatku ini, karena aku tak mau mencampuri urusan mereka dan aku belum siap jika ternyata mereka punya hubungan khusus. Aku tak mau semakin merasa tersakiti.

Perlahan tapi pasti aku menjauh dari Deni. Aku tak pernah lagi menghiraukan sms darinya, dan aku selalu berusaha menghindar jika Kebetulan berjumpa dengannya di sekolah. Sakit dan sangat susah memang, tetapi aku tak mau semakin terpuruk dan terluka.

Hal ini pun berdampak pada hubunganku dengan Elisa. Entah aku atau dia yang menjauh, yang jelas persahabatan kami menjadi renggang. Kami jadi jarang sekali main atau pergi bersama. Walau kami masih saling menyapa.

Semua berlalu begitu saja, hingga kini kami telah terpisah, karena kami telah lulus sekolah. Dan masing-masing dari kami melanjutkan sekolah di tempat yang berbeda. Komuniksi kami benar-benar terputus karena nomor handphone mereka yang dulu pun tidak aktif.

Memang semua telah berakhir, akan tetapi semua tentang Deni masih membekas dalam hatiku. Entah sampai kapan aku bisa benar-benar menghapus perasaan ini.

"Terkadang lamunanku membawaku terbang menerawang jauh,  seolah hendak mencari keberadaanmu. Akan tetapi segera aku sadari bahwa engkau hanya mimpi bagiku, engkau hanya mampu kumiliki dalam anganku, dan engkau hanya mampu hadir dalam khayalanku".

Sampai saat ini aku tak pernah tahu bagaimana perasaan Deni terhadapku. Terkadang aku pun menyalahkan keadaan, berfikir mengapa secepat itu aku memutuskan menjauh darinya, padahal aku membutuhkannya, tanpa aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Yang membuatku semakin menyesal adalah hubunganku dengan Elisa, sahabat baikku menjadi renggang gara-gara seorang cowok. Elisa maafkan aku. :(

Aku menyesal, sangat menyesal. Akan tetapi aku segera sadar bahwa penyesalan tak kan merubah keadaan. Aku hanya bisa berharap semoga kita, aku, Elisa, dan Deni dapat dipertemukan kembali untuk merubah dan memperbaiki semuanya
:)

#bener-bener nostalgia ^-^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar