Minggu, 23 Februari 2014

Ketika Kandungan Berusia Tujuh Bulan



Beberapa hari yang lalu, tetanggaku baru saja menjalani tradisi tujuh bulanan (mitoni) kandungan pertamanya. Memang di daerahku, tradisi-tradisi semacam ini masih ada dan masih terus dilestarikan meski arus modernisasi tengah melanda sebagian besar belahan dunia. 

Pada kesempatan kali ini aku ingin sedikit mengutarakan hal-hal menarik yang aku dapati dalam acara mitoni yang berkembang di Jawa,
khususnya di daerahku sendiri. Apa yang akan aku bahas di sini hanya sepengetahuanku saja berbekal pengamatan yang aku lakukan ketika tetangga/orang di sekitarku melaksanakan tradisi ini. Oleh karena itu saya memohon maaf sebelumnya apabila apa yang ada di tulisan ini nantinya kurang sesuai dengan esensi sebenarnya dari tradisi mitoni ini.

Ketika pasangan suami istri tengah dikaruniai calon anak pertama, mereka akan menjalani tradisi mitoni. Mitoni ini dilakukan ketika kandungan tengah berusia 7 bualan. Kata mitoni sendiri erat kaitannya dengan kata pitu, yang berarti tujuh. Mungkin karena itu mitoni dilakukan di bulan ke pitu (tujuh) usia kandungan pertama seseorang. Walaupun pada prakteknya, pelaksanaan mitoni tidak selalu tepat di usia kehamilan yang ke tujuh bulan. Perlu di ingat bahwa perhitungan bulan usia kandungan di dasarkan pada perhitungan Jawa, bukan perhitungan nasional. 

Ketika akan melaksanakan tradisi mitoni, biasanya akan melibatkan orang-orang terdekat, terutama keluarga dan tetangga dekat. Karena memang mitoni termasuk hajat yang cukup besar bagi masyarakat jawa sehingga memerlukan kontribusi dari orang-orang sekitar. 

Sebelum tiba di acara inti, para ibu berkumpul untuk menyiapkan segala sesuatu, terutama yang berurusan dengan dapur. Mulai dari menanak nasi yang akan dibentuk menjadi tujuh gunungan beserta segala sesuatu yang akan dibagikan kepada warga sekitar dalam acara kenduri(misal sayur, telur, berbagai gorengan, dll), memasak sambal tujuh macam, membuat rujak yang terdiri dari tujuh macam buah, dll. 

Sementara itu, suami(calon ayah) bertugas mencari air dari tujuh sumber yang berbeda. Yang menarik di sini, ketika mencari air ia tidak boleh berbicara kepada siapa pun dan tidak boleh meminta ijin kepada si empunya sumber air. Dapat dikatakan mencuri air :D. 

Selain itu masih ada berbagai keperluan lain yang juga harus dipersiapkan, misalnya daun sukun berjumlah tujuh buah, kendil, gayung air yang terbuat dari buah kelapa, buah kelapa gading yang diberi gambar wayang, janur, beberapa jajanan pasar yang diletakkan di dalam tenggok, pisau, tikar, payung, keris, tujuh macam kain jarik, dll. 

Dari berbagai kelengkapan tersebut masing-masing mempunyai makna yang melambangkan harapan akan kelahiran anak pertama tersebut. Misalnya buah gading yang diberi gambar wayang (kalau tidak salah biasanya Arjuna dan Sembadra) melambangkan harapan agar si anak ketika telah terlahir di dunia akan memiliki watak-watak baik seperti tokoh dalam pewayangan tersebut. Dan masih banyak lagi. 

Ketika masing-masing piranti telah disiapkan, mulailah memasuki acara inti dari mitoni. Pada mulanya si empunya rumah(biasanya ayah dari suami) menabuh/ membunyikan kentongan yang berarti mengundang para warga sekitar untuk hadir dalam upacara mitoni tersebut. Biasanya yang diundang adalah kaum bapak-bapak/ kaum lelaki. 

Sambil menunggu para warga berkumpul, dukun bayi setempat/ yang diundang oleh yang punya hajat menata segala sesuatu, mulai dari menyusun tujuh daun sukun membentuk garis lurus. Dikedua ujungnya diletakkan kendil. Kedua kendil tersebut diisi dengan air dari tujuh sumber air yang sudah disiapkan tadi dicampur dengan bunga tujuh rupa. Keris dan sesaji sama-sama diletakkan diatas keranjang yang berbeda. Serta kain jarik tujuh rupa ditata bersusun sebagai baju ganti untuk si istri(calon ibu). Sebuah tikar digelar di depan pintu utama. 

Ketika mulai memasuki acara inti, pasangan suami istri harus melepas segala yang dipakainya, berganti dengan sehelai kain jarik. Rambut yang perempuan juga harus terurai dan keduanya tidak boleh memakai alas kaki. 

Jikalau segalanya sudah ditata dan warga sekitar sudah berkumpul di rumah yang punya hajat, maka nasi besar berupa tujuh gunungan beserta teman-temnannya segera dikeluarkan dari dapur dan diletakkan di tengah-tengah warga(para kaum lelaki) yang sudah berkumpul tersebut untuk kemudian dido’akan oleh modin/tokoh setempat. Setelah selesai segera dibagi sesuai dengan jumlah warga.

Sementara di dalam rumah dilangsungkan kenduren, di luar rumah terjadi prosesi siraman. Prosesi siraman dipimpin oleh dukun bayi setempat. Dimulai dengan sang istri menginjak/melangkah di atas daun sukun, selangkah demi selangkah. Setiap langkah diikuti dengan mengguyurkan air ke arah si istri dari kendil yang ada di pangkal dengan gayung yang terbuat dari buah kelapa. Ketika si istri telah menginjak daun terakhir, maka si suami berlari menendang kendil yang ada di ujung sampai kendil pecah dan diteriaki “wong edan, wong edan” oleh para penonton prosesi. Kemudian si suami dikejar sambil dicambuk oleh ayahnya(calon kakek si jabang bayi) dengan cambuk dari dedaunan, namun ayah pura-pura tidak dapat menangkap wong edan ini. 

Setelah selesai prosesi siraman, maka gayung yang terbuat dari buah kelapa ini digepuk/ dihancurkan agar buah kelapa tersebut dapat terpecah belah. Nah masyarakat jawa percaya bahwa pecahan-pecahan kelapa bekas gayung ini jika dimakan dapat mencegah dan menyembuhkan sakit gigi.

Lanjut ke prosesi selanjutnya yaitu si istri berganti pakaian. Pakaian yang dimaksud di sisni adalah kain jarik. Si istri di dampingi dukun bayi memilih kain yang paling pantas untuk di pakai ke pasar. Setelah tujuh lapis kain yang telah disiapkan dicoba, maka kain yang paling pantas adalah kain jarik terakhir. (Dari ketujuh kain tersebut memiliki motif serta makna yang berbeda-beda, dan kain ke tujuhlah yang paling baik dan sesuai).

Setelah berganti pakaian tibalah saatnya si istri pura-pura pergi ke pasar. Setelah membeli berbagai keperluan rumah tangga, maka si istri pulang dengan menggendong tenggok(berisi barang belanjaan dan oleh-oleh pasar) serta membawa layah. Tiba di rumah, tepatnya di pintu utama, kedatangan si istri telah di sambut oleh si suami. Akan tetapi ternyata si suami malah sengaja menumpahkan layah yang dibawa oleh si istri sampai layah tersebut pecah, sehingga si suami kembali di teriaki “wong edan”.

Setelah semua prosesi berakhir, para warga yang kenduri baru diperbolehkan untuk pulang. Bagi warga yang pulang paling awal, ia wajib menggeret tikar yang telah digelar di depan pintu sampai tikar tersebut terbawa sampai halaman rumah, sehingga orang tersebut juga diteriaki “wong edan”.

Prosesi mitoni selesai dan diakhiri dengan membagi-bagikan oleh-oleh pasar yang di bawa si istri kepada setiap orang yang ada di tempat tersebut. 

Demikianlah secuil uaraian dariku mengenai prosesi mitoni yang ada di masyarakat Jawa. Aku yakin setiap daerah mempunyai keunikan dan kekhasannya masing-masing. Apa yang aku utarakan di atas hanyalah gambaran sederhana, bahkan dapat dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan keseluruhan prosesi mitoni yang sesungguhnya. 

Dan setiap hal yang dilakukan maupun yang terjadi pasti mengandung pelajaran yang dapat kita petik bersama. Begitu pula dalam prosesi mitoni ini. Acara-acara semacam ini secara langsung maupun tidak langsung mampu mempererat hubungan kekeluargaan antar warga, mulai dari persiapan sampai akhir acara. Selain itu, terlepas dari unsur agama/keyakinan apapun, prosesi mitoni bagiku lebih berisi tentang simbol-simbol yang berisi harapan-harapan akan kelahiran anak pertama. Hal tersebut mampu mengingatkan kita agar senantiasa memohon/berdo’a kepada Sang Maha Kuasa dalam menjalani kehidupan.

Sekali lagi aku tegaskan bahwa ini hanya berlandaskan pengamatanku semata, sehingga apabila terdapat banyak kesalahan mohon di maafkan. 

Sekian... ^-^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar