Beberapa hari yang lalu, tetanggaku baru saja menjalani tradisi tujuh bulanan (mitoni) kandungan pertamanya. Memang di daerahku, tradisi-tradisi semacam ini masih ada dan masih terus dilestarikan meski arus modernisasi tengah melanda sebagian besar belahan dunia.
Pada
kesempatan kali ini aku ingin sedikit mengutarakan hal-hal menarik yang aku dapati
dalam acara mitoni yang berkembang di Jawa,
khususnya di daerahku sendiri. Apa
yang akan aku bahas di sini hanya sepengetahuanku saja berbekal pengamatan yang
aku lakukan ketika tetangga/orang di sekitarku melaksanakan tradisi ini. Oleh
karena itu saya memohon maaf sebelumnya apabila apa yang ada di tulisan ini
nantinya kurang sesuai dengan esensi sebenarnya dari tradisi mitoni ini.
Ketika
pasangan suami istri tengah dikaruniai calon anak pertama, mereka akan
menjalani tradisi mitoni. Mitoni ini dilakukan ketika kandungan tengah berusia
7 bualan. Kata mitoni sendiri erat kaitannya dengan kata pitu, yang berarti
tujuh. Mungkin karena itu mitoni dilakukan di bulan ke pitu (tujuh) usia
kandungan pertama seseorang. Walaupun pada prakteknya, pelaksanaan mitoni tidak
selalu tepat di usia kehamilan yang ke tujuh bulan. Perlu di ingat bahwa
perhitungan bulan usia kandungan di dasarkan pada perhitungan Jawa, bukan
perhitungan nasional.
Ketika akan melaksanakan tradisi mitoni, biasanya akan
melibatkan orang-orang terdekat, terutama keluarga dan tetangga dekat. Karena
memang mitoni termasuk hajat yang cukup besar bagi masyarakat jawa sehingga
memerlukan kontribusi dari orang-orang sekitar.
Sebelum tiba di acara inti, para ibu berkumpul untuk
menyiapkan segala sesuatu, terutama yang berurusan dengan dapur. Mulai dari
menanak nasi yang akan dibentuk menjadi tujuh gunungan beserta segala sesuatu
yang akan dibagikan kepada warga sekitar dalam acara kenduri(misal sayur,
telur, berbagai gorengan, dll), memasak sambal tujuh macam, membuat rujak yang
terdiri dari tujuh macam buah, dll.
Sementara itu, suami(calon ayah) bertugas mencari air
dari tujuh sumber yang berbeda. Yang menarik di sini, ketika mencari air ia
tidak boleh berbicara kepada siapa pun dan tidak boleh meminta ijin kepada si
empunya sumber air. Dapat dikatakan mencuri air :D.
Selain itu masih ada berbagai keperluan lain yang juga harus
dipersiapkan, misalnya daun sukun berjumlah tujuh buah, kendil, gayung air yang
terbuat dari buah kelapa, buah kelapa gading yang diberi gambar wayang, janur,
beberapa jajanan pasar yang diletakkan di dalam tenggok, pisau, tikar, payung,
keris, tujuh macam kain jarik, dll.
Dari berbagai kelengkapan tersebut masing-masing
mempunyai makna yang melambangkan harapan akan kelahiran anak pertama tersebut.
Misalnya buah gading yang diberi gambar wayang (kalau tidak salah biasanya
Arjuna dan Sembadra) melambangkan harapan agar si anak ketika telah terlahir di
dunia akan memiliki watak-watak baik seperti tokoh dalam pewayangan tersebut.
Dan masih banyak lagi.
Ketika masing-masing piranti telah disiapkan, mulailah
memasuki acara inti dari mitoni. Pada mulanya si empunya rumah(biasanya ayah
dari suami) menabuh/ membunyikan kentongan yang berarti mengundang para warga
sekitar untuk hadir dalam upacara mitoni tersebut. Biasanya yang diundang
adalah kaum bapak-bapak/ kaum lelaki.
Sambil menunggu para warga berkumpul, dukun bayi
setempat/ yang diundang oleh yang punya hajat menata segala sesuatu, mulai dari
menyusun tujuh daun sukun membentuk garis lurus. Dikedua ujungnya diletakkan
kendil. Kedua kendil tersebut diisi dengan air dari tujuh sumber air yang sudah
disiapkan tadi dicampur dengan bunga tujuh rupa. Keris dan sesaji sama-sama diletakkan diatas keranjang
yang berbeda. Serta kain jarik tujuh rupa ditata bersusun sebagai baju ganti
untuk si istri(calon ibu). Sebuah tikar digelar di depan pintu utama.
Ketika mulai memasuki acara inti, pasangan suami istri
harus melepas segala yang dipakainya, berganti dengan sehelai kain jarik.
Rambut yang perempuan juga harus terurai dan keduanya tidak boleh memakai alas
kaki.
Jikalau segalanya sudah ditata dan warga sekitar sudah
berkumpul di rumah yang punya hajat, maka nasi besar berupa tujuh gunungan
beserta teman-temnannya segera dikeluarkan dari dapur dan diletakkan di
tengah-tengah warga(para kaum lelaki) yang sudah berkumpul tersebut untuk
kemudian dido’akan oleh modin/tokoh setempat. Setelah selesai segera dibagi
sesuai dengan jumlah warga.
Sementara di dalam rumah dilangsungkan kenduren, di luar
rumah terjadi prosesi siraman. Prosesi siraman dipimpin oleh dukun bayi
setempat. Dimulai dengan sang istri menginjak/melangkah di atas daun sukun,
selangkah demi selangkah. Setiap langkah diikuti dengan mengguyurkan air ke
arah si istri dari kendil yang ada di pangkal dengan gayung yang terbuat dari
buah kelapa. Ketika si istri telah menginjak daun terakhir, maka si suami berlari
menendang kendil yang ada di ujung sampai kendil pecah dan diteriaki “wong
edan, wong edan” oleh para penonton prosesi. Kemudian si suami dikejar sambil
dicambuk oleh ayahnya(calon kakek si jabang bayi) dengan cambuk dari dedaunan,
namun ayah pura-pura tidak dapat menangkap wong edan ini.
Setelah selesai prosesi siraman, maka gayung yang terbuat
dari buah kelapa ini digepuk/ dihancurkan agar buah kelapa tersebut dapat
terpecah belah. Nah masyarakat jawa percaya bahwa pecahan-pecahan kelapa bekas
gayung ini jika dimakan dapat mencegah dan menyembuhkan sakit gigi.
Lanjut ke prosesi selanjutnya yaitu si istri berganti
pakaian. Pakaian yang dimaksud di sisni adalah kain jarik. Si istri di dampingi
dukun bayi memilih kain yang paling pantas untuk di pakai ke pasar. Setelah
tujuh lapis kain yang telah disiapkan dicoba, maka kain yang paling pantas
adalah kain jarik terakhir. (Dari ketujuh kain tersebut memiliki motif serta
makna yang berbeda-beda, dan kain ke tujuhlah yang paling baik dan sesuai).
Setelah berganti pakaian tibalah saatnya si istri
pura-pura pergi ke pasar. Setelah membeli berbagai keperluan rumah tangga, maka
si istri pulang dengan menggendong tenggok(berisi barang belanjaan dan
oleh-oleh pasar) serta membawa layah. Tiba di rumah, tepatnya di pintu utama,
kedatangan si istri telah di sambut oleh si suami. Akan tetapi ternyata si
suami malah sengaja menumpahkan layah yang dibawa oleh si istri sampai layah
tersebut pecah, sehingga si suami kembali di teriaki “wong edan”.
Setelah semua prosesi berakhir, para warga yang kenduri
baru diperbolehkan untuk pulang. Bagi warga yang pulang paling awal, ia wajib
menggeret tikar yang telah digelar di depan pintu sampai tikar tersebut terbawa
sampai halaman rumah, sehingga orang tersebut juga diteriaki “wong edan”.
Prosesi mitoni selesai dan diakhiri dengan
membagi-bagikan oleh-oleh pasar yang di bawa si istri kepada setiap orang yang
ada di tempat tersebut.
Demikianlah secuil uaraian dariku mengenai prosesi mitoni
yang ada di masyarakat Jawa. Aku yakin setiap daerah mempunyai keunikan dan
kekhasannya masing-masing. Apa yang aku utarakan di atas hanyalah gambaran
sederhana, bahkan dapat dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan
keseluruhan prosesi mitoni yang sesungguhnya.
Dan setiap hal yang dilakukan maupun yang terjadi pasti
mengandung pelajaran yang dapat kita petik bersama. Begitu pula dalam prosesi
mitoni ini. Acara-acara semacam ini secara langsung maupun tidak langsung mampu
mempererat hubungan kekeluargaan antar warga, mulai dari persiapan sampai akhir
acara. Selain itu, terlepas dari unsur agama/keyakinan apapun, prosesi mitoni
bagiku lebih berisi tentang simbol-simbol yang berisi harapan-harapan akan
kelahiran anak pertama. Hal tersebut mampu mengingatkan kita agar senantiasa
memohon/berdo’a kepada Sang Maha Kuasa dalam menjalani kehidupan.
Sekali lagi aku tegaskan bahwa ini hanya berlandaskan
pengamatanku semata, sehingga apabila terdapat banyak kesalahan mohon di
maafkan.
Sekian... ^-^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar