Sabtu, 08 September 2018

Berenang di Ibu Kota


Bus putih yang kutumpangi melintas di jalanan padat ibu kota. Merangkak di antara hiruk-pikuknya kemacetan kota metropolitan. Aku menatap takjub dari balik kaca jendela. Gedung-gedung tinggi dan bangunan-bangunan mewah berdiri dengan gagahnya.

Namaku Beni, usiaku 12 tahun. Inilah hari pertamaku pergi ke kota. Tempat ibuku mencari uang. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ibu membawaku ke kota. Sebenarnya aku tak ingin, namun apa daya tak ada pilihan untuk aku tetap tinggal di kampung.

“Kamu pasti akan senang sayang. Kamu akan punya banyak teman baru di kota”, kata ibu beberapa waktu sebelum keberangkatan kami.
Hari-hari awal aku masih butuh penyesuaian. Tinggal di kota ternyata tak senyaman tinggal di kampung. Di kampung berbagai macam pepohonan tumbuh dengan lebatnya. Jika musim buah, kami, anak-anak kampung bisa memanjat pohon dan memetik buahnya dengan bebas.

Tiba-tiba hobiku mamanjat memanggilku. Dua hari berkeliling sekitar rumah, hasilnya nihil. Tak ada pohon seperti di kampungku. Di hari ketiga berkeliling, aku baru menemukan sebuah pohon jambu air. Kebetulan tengah berbuah lebat. Jiwa tarzan kampungku langsung menggelora. Tanpa berfikir panjang aku langsung memanjat dan memetik beberapa buah. Dengan lincah aku meliuk-liung bergelantungan di antara satu batang ke batang lain. Ketika aku hendak menggigit satu buah jambu, tiba-tiba seorang ibu berteriak dari bawah. Entah ia datang dari mana.

“Hei Nak, jangan dimakan dulu. Ayo turun ditimbang dulu. Satu kilonya Rp50.000,-“.

***

 Seminggu di kota, aku mulai mengenal lingkungan sekitar. Aku mulai berkenalan dengan anak-anak seusiaku, salah satunya Acol. Acol adalah anak asli kota ini. Dia lahir dan sampai sekarang masih tinggal di sini. Kebetulan Acol juga satu sekolah denganku. Alhasil sebagian besar waktuku aku habiskan bersama Acol.

Bermain petak umpet, berkejar-kejaran, bermain layang-layang, memancing ikan, bermain bola, dan berbagai hal seru lainnya telah aku lalui bersama Acol. Hobi-hobi Acol telah ia tularkan kepadaku, hanya ada satu yang belum, yaitu berenang.

Acol mengatakan bahwa ia adalah perenang ulung di kota ini. Tak ada satu orang anak pun  yang berhasil mengalahkannya ketika berenang. Aku sangat tertarik mendengar cerita Acol. Terlebih selama ini aku sama sekali belum pernah berenang. Maklum lah di kampung tempat tinggalku, sumber air sangat lah terbatas. Sungai pun sangat jauh dari tempat tinggalku. Sehingga berenang adalah sesuatu yang menakjubkan dan sesuatu yang sangat aku idam-idamkan sejak dulu.

“Wah, kamu nggak bisa renang Ben? Kebetulan sekali seminggu lagi adalah waktu yang pas untuk belajar berenang. Tenang saja aku akan mengajarimu”, kata Acol ketika kami pulang bersama dari sekolah.

“Kenapa harus seminggu lagi Col? Bugaimana kalau besok saja?” jawabku tidak sabar.
Acol hanya menggeleng.

***

Beberapa hari terakhir kota ini diguyur hujan. Kata berita-berita di TV memang menyebutkan bahwa musim hujan akan segera tiba. Duh, aku khawatir kalau Acol tiba-tiba membatalkan janjinya.

***

Hari yang kunanti-nanti pun tiba. Di tengah gerimis yang membasahi ibu kota, Acol mengajariku berenang mulai dari teknik dasarnya. Berenang di kedalaman 30 cm. Apa?? Berenang macam apa ini. Protesku pada Acol. Ku kira Acol akan mengajakku berenang di kolam yang luas dan dalam. Namun apa ini, sungguh tak seperti apa yang aku harapkan.

Mengetahui raut kekecewaan dalam diriku, Acol mengatakan bahwa untuk menjadi perenag ulung seperti dirinya, pelajaran pertamanya adalah aku harus berkenalan dulu dengan air. Alhasil di kedalaman 30 cm ini kami hanya berkejar-kejaran dan bermain air bersama. Berta’aruf dengan air. Oke, pelajaran pertama kali ini tak terlalu buruk lah.

Seminggu berikutnya Acol mengajakku belajar berenang di kedalaman 50 cm. Semangatku kini menggebu-gebu. Dengan celana merah pemberian ibu 1 bulan lalu, aku menghampiri Acol. Acol pun mengajariku dengan semangat. Kali ini beberapa anak lain pun ikut berenang. Seru sekali pelajaran renang kali ini.

Beberapa hari berikutnya, kami mulai berenang di kedalaman 60 cm, 65 cm, 70 cm, 80 cm, 85 cm, hingga 100 cm. Seru sekali. Tak lama belajar dengan Acol, akkhirnya aku bisa berenang dengan lincah, tak kalah dari Acol. Kami melompat dari ketinggian lalu membelah dinginnya air. Ini sungguh pengalaman luar biasa yang belum pernah aku alami ketika tinggal di kampung.

***

“Jangan sekali-kali mencoba terjun berenang lagi Beni, ini bahaya, ketinggian banjir sudah mencapai 2 m”, kata ibu kepadaku ketika duduk di atap bersama beberapa tetangga.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar