Bus putih yang kutumpangi melintas di jalanan padat ibu kota. Merangkak di antara hiruk-pikuknya kemacetan kota metropolitan. Aku menatap takjub dari balik kaca jendela. Gedung-gedung tinggi dan bangunan-bangunan mewah berdiri dengan gagahnya.
Namaku
Beni, usiaku 12 tahun. Inilah hari pertamaku pergi ke kota. Tempat ibuku mencari
uang. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ibu membawaku ke kota. Sebenarnya
aku tak ingin, namun apa daya tak ada pilihan untuk aku tetap tinggal di kampung.
“Kamu
pasti akan senang sayang. Kamu akan punya banyak teman baru di kota”, kata ibu
beberapa waktu sebelum keberangkatan kami.
Hari-hari
awal aku masih butuh penyesuaian. Tinggal di kota ternyata tak senyaman tinggal
di kampung. Di kampung berbagai macam pepohonan tumbuh dengan lebatnya. Jika
musim buah, kami, anak-anak kampung bisa memanjat pohon dan memetik buahnya
dengan bebas.
Tiba-tiba
hobiku mamanjat memanggilku. Dua hari berkeliling sekitar rumah, hasilnya
nihil. Tak ada pohon seperti di kampungku. Di hari ketiga berkeliling, aku baru
menemukan sebuah pohon jambu air. Kebetulan tengah berbuah lebat. Jiwa tarzan
kampungku langsung menggelora. Tanpa berfikir panjang aku langsung memanjat dan
memetik beberapa buah. Dengan lincah aku meliuk-liung bergelantungan di antara
satu batang ke batang lain. Ketika aku hendak menggigit satu buah jambu,
tiba-tiba seorang ibu berteriak dari bawah. Entah ia datang dari mana.
“Hei
Nak, jangan dimakan dulu. Ayo turun ditimbang dulu. Satu kilonya Rp50.000,-“.
***
Seminggu di kota, aku mulai mengenal
lingkungan sekitar. Aku mulai berkenalan dengan anak-anak seusiaku, salah
satunya Acol. Acol adalah anak asli kota ini. Dia lahir dan sampai sekarang
masih tinggal di sini. Kebetulan Acol juga satu sekolah denganku. Alhasil
sebagian besar waktuku aku habiskan bersama Acol.
Bermain
petak umpet, berkejar-kejaran, bermain layang-layang, memancing ikan, bermain
bola, dan berbagai hal seru lainnya telah aku lalui bersama Acol. Hobi-hobi
Acol telah ia tularkan kepadaku, hanya ada satu yang belum, yaitu berenang.
Acol
mengatakan bahwa ia adalah perenang ulung di kota ini. Tak ada satu orang anak
pun yang berhasil mengalahkannya ketika
berenang. Aku sangat tertarik mendengar cerita Acol. Terlebih selama ini aku
sama sekali belum pernah berenang. Maklum lah di kampung tempat tinggalku,
sumber air sangat lah terbatas. Sungai pun sangat jauh dari tempat tinggalku.
Sehingga berenang adalah sesuatu yang menakjubkan dan sesuatu yang sangat aku
idam-idamkan sejak dulu.
“Wah,
kamu nggak bisa renang Ben? Kebetulan sekali seminggu lagi adalah waktu yang
pas untuk belajar berenang. Tenang saja aku akan mengajarimu”, kata Acol ketika
kami pulang bersama dari sekolah.
“Kenapa
harus seminggu lagi Col? Bugaimana kalau besok saja?” jawabku tidak sabar.
Acol
hanya menggeleng.
***
Beberapa
hari terakhir kota ini diguyur hujan. Kata berita-berita di TV memang
menyebutkan bahwa musim hujan akan segera tiba. Duh, aku khawatir kalau Acol
tiba-tiba membatalkan janjinya.
***
Hari
yang kunanti-nanti pun tiba. Di tengah gerimis yang membasahi ibu kota, Acol
mengajariku berenang mulai dari teknik dasarnya. Berenang di kedalaman 30 cm. Apa??
Berenang macam apa ini. Protesku pada Acol. Ku kira Acol akan mengajakku
berenang di kolam yang luas dan dalam. Namun apa ini, sungguh tak seperti apa
yang aku harapkan.
Mengetahui
raut kekecewaan dalam diriku, Acol mengatakan bahwa untuk menjadi perenag ulung
seperti dirinya, pelajaran pertamanya adalah aku harus berkenalan dulu dengan
air. Alhasil di kedalaman 30 cm ini kami hanya berkejar-kejaran dan bermain air
bersama. Berta’aruf dengan air. Oke, pelajaran pertama kali ini tak terlalu
buruk lah.
Seminggu
berikutnya Acol mengajakku belajar berenang di kedalaman 50 cm. Semangatku kini
menggebu-gebu. Dengan celana merah pemberian ibu 1 bulan lalu, aku menghampiri
Acol. Acol pun mengajariku dengan semangat. Kali ini beberapa anak lain pun
ikut berenang. Seru sekali pelajaran renang kali ini.
Beberapa
hari berikutnya, kami mulai berenang di kedalaman 60 cm, 65 cm, 70 cm, 80 cm,
85 cm, hingga 100 cm. Seru sekali. Tak lama belajar dengan Acol, akkhirnya aku
bisa berenang dengan lincah, tak kalah dari Acol. Kami melompat dari ketinggian
lalu membelah dinginnya air. Ini sungguh pengalaman luar biasa yang belum
pernah aku alami ketika tinggal di kampung.
***
“Jangan
sekali-kali mencoba terjun berenang lagi Beni, ini bahaya, ketinggian banjir
sudah mencapai 2 m”, kata ibu kepadaku ketika duduk di atap bersama beberapa
tetangga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar